Kearifan Lokal di Balik Sebuah Kesederhanaan

Menuruni 439 anak tangga yang disusun rapi di atas kemiringan lahan 45 derajat ini memang bukan rute yang mudah. Karena ini kunjungan saya yang ke tiga kali, saya tahu, di pertengahan tangga ini saya bisa melihat kecantikan kampung ini dari kejauhan. Rasa lelah menuruni anak tangga curam dan panjang ini akan tergantikan dengan keindahan yang menyejukan.

Dan, inilah yang saya temui di pertengahan anak tangga. Sebuah keindahan yang tersaji sempurna. Bubungan atap ijuk yang hitam berbaris rapi di sela rerimbunan hijau hutan di sekelilingnya. Sebuah desa sederhana yang siapa sangka menyimpan banyak kearifan di dalamnya.


Kampung Naga, ke tempat inilah saya kembali menuju. Sebagai sebuah desa budaya yang terus mempertahankan tradisi, modernisasi berjalan lambat di sini. Saat era globalisasi di luar sana berkembang tanpa kendali, di sini semuanya berjalan apa adanya. Sebuah kearifan lokal yang terbungkus dalam kesederhanaan.


Kampung Naga hanyalah sebuah perkampungan kecil, tetapi lekat memegang adat dan tradisi para leluhur. Luasnya tidak lebih dari 1,5 hektar saja dan dihuni oleh 330 orang yang terdiri dari 108 keluarga, dengan jumlah bangunan sebanyak 112 buah. Bangunan tersebut terdiri dari 108 rumah tinggal, 1 balai pertemuan, 1 masjid, 1 lumbung padi, dan 1 bumi ageung (bangunan suci tempat penyimpanan benda-benda pusaka).

Kearifan lokal apa saja yang bisa kita temui di sini? Mari kita telusuri sambil berjalan-jalan.

Rumah


Rumah  Kampung Naga dibangun dengan 3 unsur utama; bambu (anyaman bambu/bilik sebagai dinding rumah), kayu, serta ijuk sebagai atap. Tidak ada penggunaan tembok sama sekali, kecuali batu sebagai penyangga bangunan. Selain mempertahankan tradisi, biayanya pun jauh lebih murah. Apalagi, bahan baku mudah diperoleh di hutan milik Kampung Naga.
“Rumah kami adalah salah satu cara kami berbaur dengan alam. Kami menggunakan semua unsur yang sudah diberikan oleh alam,” ujar Pak Riswan, pemandu yang mengantar saya.

Perlengkapan Rumah Tangga


Setiap rumah minim dari perabotan, bahkan tidak disediakan kursi dan meja untuk tamu. Hal ini berkaitan dengan adat masyarakat Kampung Naga dalam mengormati tamu. Setiap tamu dianggap sama terhormatnya. Tanpa kursi dan meja, semuanya bisa duduk lesehan tanpa ada yang merasa diistimewakan. Tak hanya itu, tidak ada peralatan elektronik di sini karena wilayah ini tidak dialiri listrik. Penerangan hanya menggunakan lampu cempor. Memasak pun masih menggunakan tungku kayu, sehingga mereka tidak dipusingkan dengan adanya kenaikan harga minyak maupun gas.

Warga Sa Naga
Seperti kodrat manusia lainnya, warga Kampung Naga juga bertambah dan bertumbuh. Setiap orang membina keluarga dan memiliki keturunan. Karena luas Kampung Naga yang terbatas, sebagian warga kemudian tinggal di luar batas desa adat. Meskipun demikian, mereka tetap memegang teguh adat dan tradisi. Masyarakat keturunan Kampung Naga disebut dengan istilah Sa Naga.

Desa Yang Bersih


Kampung Naga adalah wilayah yang sangat bersih. Setiap orang tampaknya sudah memahami arti kebersihan dan manfaat yang didapatkan. Tempat-tempat sampah dari anyaman bambu tersedia di banyak tempat. Tidak hanya itu, wilayah adat Kampung Naga juga merupakan wilayah bersih.  Seluruh aktivitas bersih-bersih seperti mencuci, mandi, dan buang air, dilakukan di luar pagar batas.

Penjaga Lingkungan


Dalam keseharian, masyarakat Kampung Naga adalah penjaga alam yang baik. Untuk kepentingan kayu bakar, mereka tidak pernah menebang pohon sembarangan. Pohon yang bertumbuh selalu lebih banyak dibandingkan pohon yang ditebang. Tidak heran kalau masyarakat Kampung Naga tidak pernah mengalami kesulitan air, bahkan saat musim kemarau sekalipun. Hutan di sekeliling benar-benar menyimpan cadangan air sepanjang tahun.

Pemerintahan

Punduh desa Kampung Naga

Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, masyarakat Kampung Naga dipimpin oleh lembaga adat yang terdiri dari Kuncen (pemimpin adat tertinggi yang mengambil segala kebijakan), Lebe (petugas yang memimpin acara kematian), dan Punduh (mengatur keamanan dan pembangunan desa).

Tabu

Hutan Larangan
Sebagai wilayah yang mengayomi dan melaksanakan adat istiadat para leluhur, masyarakat Kampung Naga tidak terlepas dari unsur-unsur yang ditabukan. Di antaranya adalah tidak memasuki dan mengambil segala sesuatu dari Hutan Larangan. Bahkan ranting yang terjatuh dari pohon yang berada di Hutan Larangan pun tabu untuk diambil. Selain itu, ditabukan untuk memasuki dan mengambil foto Bumi Ageung, memasuki Hutan Keramat (makam leluhur) kecuali pada saat upacara Hajat Sasih, membicarakan sejarah leluhur pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu, dan masih banyak lagi.


Kampung Naga memang kaya akan budaya. Banyak hal yang bisa dipelajari dan bahkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sederhana tidak berarti terbelakang. Sederhana lebih kepada arif dalam menempatkan diri dalam perkembangan zaman.

Mau tahu ilustrasi lebih banyak? Cek video berikut ini :


Tertarik berkunjung ke Kampung Naga? Kampung Naga berada di desa Neglasari, kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, tepat di lintas perbatasan dengan kabupaten Garut. Karena tidak berada di kota yang memiliki bandara, kita bisa terbang terlebih dahulu menuju Bandara Husein Bandung atau Soekarno Hatta Jakarta, untuk dilanjutkan menggunakan bus ke arah Kabupaten Tasikmalaya. Banyak maskapai yang menawarkan Tiket Pesawat murah melalui Airpaz.com, sepeti Citilink yang memberikan harga yang sangat terjangkau tetapi dengan pelayanan yang memuaskan.


Jadi, tunggu apalagi? Ayo kemasi ranselmu dan segera telusuri  keragaman dan keindahan budaya Indonesia!


Komentar

Unknown mengatakan…
Tulisan menarik, terimakasih atas partisipasinya dalam lomba blog Airpaz,
Semoga menang dapat tiket pesawat gratis dari Airpaz yah :)

Airpaz - Cindyclaudia2018@gmail.com
winny mengatakan…
Desanya adem

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?